Jalur-jalur alternatif yang biasa digunakan sebagai opsi bagi pemudik Lebaran masih menyisakan beragam kendala. Kendala itu menyebabkan tingkat aksesibilitas pemudik untuk menggunakan jalur alternatif tersebut menjadi terbatas.
Kompas berupaya menggambarkan kondisi riil di jalur-jalur alternatif tersebut dengan survei pada 1-5 Agustus 2012 ke sejumlah lokasi di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, hingga Sumatera Selatan. Lokasi-lokasi tersebut dipilih karena menjadi sasaran terdekat arus mudik yang keluar secara bersamaan dalam jumlah besar dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Dinas Perhubungan DKI Jakarta memperkirakan, puncak arus mudik jalur darat (jalan raya dan kereta api) terjadi pada H-2 atau Jumat (17/8). Adapun puncak arus mudik yang menggunakan moda transportasi laut diproyeksikan terjadi pada Selasa (14/8/2012) dan arus mudik yang menggunakan alat angkut udara akan membludak pada 16 Agustus 2012.
Ada sekitar 8,5 juta orang yang akan berjejalan keluar dari Jabodetabek ke segala arah mulai 12 Agustus 2012 demi memenuhi ritual tahunan yang meski melelahkan, tetap menggembirakan ini. Itu artinya ada kenaikan jumlah orang yang akan mudik sekitar 15,20 persen di atas jumlah penumpang seluruh moda transportasi mudik pada 2011 yang mencapai 7,245 juta jiwa.
Histeria mudik tahunan ini akan mulai terasa meletihkan ketika jalan raya yang dilalui terlalu padat sehingga menimbulkan kemacetan parah di jalur-jalur utama. Ini menjadi perhatian karena sebagian besar pemudik memang menggunakan moda transportasi darat selain kereta api, baik mobil pribadi, sepeda motor, bus umum, maupun bus sewaan.
Di Jawa Barat dan Jawa Tengah, jalur utama untuk keluar dari Jabodetabek ke arah timur sudah sangat dikenal, seperti jalur pantai utara (pantura), mulai dari Cikampek, Indramayu, hingga Cirebon, kemudian berlanjut ke Brebes, Tegal, hingga Semarang. Jalur utama lainnya tidak lain adalah jalur selatan yang dimulai dari Tol Cipularang, Cileunyi, Rancaekek, Cicalengka, tanjakan Nagreg, Malangbong, Gentong (Tasikmalaya) Ciamis, Banjar, Majenang, Banyumas, Kebumen, hingga Yogyakarta.
Namun, aliran kendaraan yang membentuk arus utama ke jalur-jalur tersebut membuat kebutuhan pada jalur alternatif menjadi semakin besar pada masa mudik. Namun, sederetan masalah masih dapat menjadi kendala bagi para pemudik.
Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono di Jakarta, Rabu (8/8/2012), menegaskan, jalur alternatif tidak dijadikan jalur utama pemudik. Jalur-jalur alternatif hanya digunakan pada saat ada lonjakkan arus lalu lintas di jalur utama. Hal tersebut sama dengan perlakuan pemerintah terhadap jalur alternatif masa Lebaran tahun 2011.
Hanya siang
Kendala yang paling umum ditemui adalah minimnya lampu penerangan di sepanjang jalur alternatif sehingga praktis hanya aman untuk digunakan pada siang hari. Kemudian, lebar jalan yang sempit sehingga sangat rentan kecelakaan jika terjadi persinggungan. Ketika ada kendaraan jatuh atau mogok di jalan itu, kemacetan parah bisa terjadi.
Kendala seperti itu, antara lain, dapat ditemui di jalur Malangbong (Garut, Jawa Barat)-Wado, Sumedang-Pusat Kota Sumedang menuju Majalengka. Lalu di jalur Cijapati-Leles, Garut, dan jalur Leles-Limbangan serta rute selatan Cileunyi-Cijapati-Garut. Kondisi serupa ditemui di jalur Sumatera, terutama di ruas Baturaja-Prabumulih, yang membahayakan jika dilewati malam hari, termasuk jalur selepas Palembang, di Kayuagung hingga Menggala.
Dari total panjang jalur Cijapati-Leles, Garut, 25 kilometer, hampir setengahnya masih diperbaiki dan diperlebar. Bukan itu saja, ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) juga minim. ”Dari Cileunyi hanya ada dua pom bensin dan satu di antaranya hanya menyediakan Premium tanpa Pertamax dan solar,” ujar Ujang Hadi (35), warga Cijapati.
Di jalur sepanjang 60 kilometer dari Wado-Kota Sumedang-Tomo-Majalengka dapat ditemui SPBU kecil berdispenser tunggal, selain SPBU besar yang rata-rata berjarak sekitar 5 kilometer. Namun, tidak banyak yang menjual Pertamax.
”Di kampung seperti ini jarang yang membeli Pertamax. Pertamax paling dekat ada di daerah Darmaraja, Sumedang,” tutur Manajer SPBU Endang Suhendar, di Pajagan, Sumedang, Kamis (2/8/2012).
Jalur alternatif juga jarang dilengkapi rambu navigasi sebagai panduan untuk keluar dari jalur tersebut. Penggunaan GPS (alat berbasis satelit yang dapat memandu penggunanya agar tidak salah arah) dapat sangat membantu. GPS dapat dipakai di jalur alternatif karena sinyal telepon seluler rata-rata tetap bagus.
Di daerah Tomo, Sumedang, terdapat proyek pelapisan jalan yang diperkirakan tidak akan selesai hingga menjelang Lebaran. Ini disebabkan seminggu menjelang Lebaran, para pekerjanya sudah akan mudik juga.
”Persimpangan Tomo-Cikamurang adalah sumber kemacetan. Pada kondisi terparah, macetnya bisa sampai simpang Alam Sari, sekitar 25 kilometer. Tahun ini semoga tidak semacet itu,” ujar Aas, petugas pendistribusi produk rokok untuk kawasan Majalengka dan Sumedang, penuh harap.
Kendala lain yang cukup sering ditemui adalah kerusakan badan jalan. Ini dapat didapati, antara lain, di Subang-Cikamurang-Cijelag-Sumedang sepanjang 64 kilometer.
Jalur mudik ke arah Lampung dan Palembang, Sumatera Selatan, setali tiga uang. Beberapa ruas jalan rusak, seperti di Baturaja-Prabumulih (Sumatera Selatan), penuh lubang, dan bergelombang sekitar 3 kilometer. Kerusakan juga ditemui di Kecamatan Lempuing, Kabupaten Ogan Komering Ilir, terutama di ruas Tugumulyo-Lubuk Siberuk.
Di Kecamatan Way Jepara, Mataram Baru, dan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, terdapat jalan rusak sekitar 150 meter hingga 1 kilometer di enam titik berbeda. Naasnya, kerusakan jalan ini dimanfaatkan oknum untuk memungut uang dari pengemudi truk dan angkutan umum.
Rusak menahun
Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak dalam Diskusi Panel Kompas di Jakarta, Rabu, mengklaim, sudah banyak perbaikan ruas jalan secara berarti. Pemerintah mengakui, rehabilitasi dan rekonstruksi jalan akan terus dilakukan pada ruas-ruas jalan yang berbeda. Ini dilakukan atas ruas jalan yang berusia minimal 10 tahun.
Itu terjadi pada 38.500 kilometer jalan nasional (dikelola pemerintah pusat). Setiap tahun, setidaknya ada 3.850 kilometer jalan yang harus direhabilitasi karena sudah melampaui usia 10 tahun. ”Itu belum lagi dengan badan jalan kabupaten dan provinsi yang dikelola oleh pemerintah daerah,” katanya.
Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit di Jakarta, Rabu, menekankan bahaya yang ditimbulkan jalan yang rusak. ”Jalan yang mulus, tetapi tidak merata akan banyak menyebabkan kecelakaan. Sebab, dari jalan yang mulus, mereka akan berkecepatan tinggi. Tiba-tiba masuk ke jalanan rusak, butuh penyesuaian. Banyak yang tidak bisa menyesuaikan dan akhirnya kecelakaan,” ujarnya. (CHE/MKN/ILO/OTW/OIN)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.